Mira mengayun bocah kecil di gendongannya sambil menyenandungkan “Nina Bobo”, sudah setengah jam yang lalu dia mulai menidurkan Rama, putra semata wayangnya, namun bayi yang baru genap 6 bulan itu belum mau diletakkan di box bayinya. Mira menengok ke ranjang yang dibelakanginya, dua gadis kecil masih duduk di atas ranjang dengan mata yang mulai redup karena mengantuk, melihat wajah Mira yang menengok ke arah mereka, segera berseri-seri wajah keduanya, Sang kakak, gadis yang lebih besar mengulurkan buku cerita kepada Mira, diikuti Sang Adik, gadis yang lebih kecil. Mira menggeleng pelan sambil meletakkan jari di mulutnya dan perlahan berbisik, “Ssst, bentar ya, adek belum bobok”. Kedua gadis kecil itu kembali ke ranjang dan duduk dengan manis tanpa rasa kecewa sedikitpun.
Mira memandangi wajah kedua gadis kecil itu, Gadis dan Dara, dua gadis kecil yang sangat disayanginya disamping Rama putra semata wayangnya, dua gadis yang juga menyayangi dan selalu menghormatinya. Mira menatap lekat wajah Gadis dan Dara yang sudah mulai mengantuk, biasanya mereka tertidur setelah Mira membacakan satu cerita dari buku kumpulan cerita yang dikoleksinya sebagai guru TK, wajah mereka yang sangat putih bersih, sangat berbeda dengan Rama yang hitam manis seperti wajahnya. Bahkan wajah Gadis dan Dara tidak mirip dengan Indra, ayah mereka, suami Mira. Wajah kedua gadis itu sangat mirip dengan foto wanita muda memakai baju hijau muda segar dengan wajah putih berseri dan rambut ikal yang panjang yang terpajang di meja belajar kecil di sudut kamar itu, berjejer dengan beberapa foto yang juga terpajang di meja kecil itu.
Ingatan Mira melayang pada berbagai peristiwa yang dialami dalam kehidupannya beberapa tahun sebelumnya. Wanita muda itu adalah teman karib Mira, sahabat yang sudah dianggap seperti saudara kandung. Wanita itu bernama Tiara, mereka kenal sejak bertemu di kelas satu SMP dan persahabatan mereka berlanjut sampai lulus kuliah, meski mereka mengambil jurusan yang berbeda, Mira mengambil Jurusan Psikologi dan Tiara mengambil Jurusan Ekonomi. Tiara juga sangat akrab dengan keluarga Mira, apalagi semenjak Tiara kuliah orang tua Tiara pindah ke luar kota karena ayahnya dipindahtugaskan, jadilah keluarga Mira sebagai keluarga kedua bagi Tiara. Mira dan Tiara sangat kompak dalam berbagai hal, mereka selalu pergi kemana-mana berdua, kadang kala mereka berempat dengan Aryo, kakak Mira, dan Indra, sahabat Aryo. Kedua laki-laki itu selalu menjadi pengawal bagi Mira dan Tiara kapan pun mereka membutuhkan, selisih umur mereka juga tidak terpaut jauh, jadilah mereka empat serangkai yang kompak. Indra, yang kebetulan anak kos di kota itu juga sangat akrab dengan Mira dan keluarganya.
Mira tidak pernah menyadari kapan benih-benih perasaan lain terhadap Indra mulai tumbuh di hatinya. Diam-diam Mira mulai mengagumi Indra selayaknya seorang wanita mengagumi laki-laki, dan perasaan itu semakin tumbuh subur di hatinya. Namun Mira tidak pernah menceritakan hal itu kepada orang lain, tidak kepada Tiara sahabatnya, atau Aryo kakaknya dan keluarga, apalagi di depan Indra ia selalu berusaha menutupi perasaannya. Mira masih merasa ragu-ragu dan malu untuk mengungkapkan perasaannya pada Indra, Mira khawatir bertepuk sebelah tangan dan persaudaraan mereka akan menjadi renggang bila hal itu terjadi. Biarlah dia menyimpan sendiri perasaannya pada Indra dan berharap suatu hari Indra juga mempunyai perasaan yang sama, dan Mira masih menutup rapat rahasianya itu sampai Indra pamitan pada keluarganya untuk pulang ke kotanya karena diterima bekerja di sana. Indra masih sering berkomunikasi dengan Mira dan keluarganya melalui telepon dan sesekali ia juga menyempatkan untuk berkunjung ke rumah keluarga Mira.
Malam itu tidak akan pernah terlupa oleh Mira dan masih membekas kuat dalam ingatannya. Usai mengikuti acara wisuda Mira pada siang harinya, keluarga Mira mengadakan syukuran di rumah dan mengundang beberapa orang sahabat dan keluarga mereka, termasuk Tiara dan Indra. Tiara telah lulus kuliah satu semester lebih dulu dan diterima bekerja di suatu Bank yang kebetulan satu kota dengan tempat kerja Indra. Malam itu Mira dan Indra datang bersamaan menjelang acara syukuran selesai, mereka memang sengaja berbarengan. Suasana yang sudah mulai sepi kembali akrab dan hangat dengan kedatangan mereka, apalagi Tiara sangat asyik bercerita tentang pekerjaan barunya. Menjelang malam, suasana semakin sepi karena saudara dan teman keluarga Mira sudah pulang dan tidak ada yang datang lagi, tinggallah Mira, keluarganya serta Tiara dan Indra yang memang berencana untuk menginap di rumah keluarga Mira.
Tiba-tiba Aryo dengan suaranya yang agak parau memecahkan perbincangan di ruang keluarga rumah keluarga Mira. Mira sangat heran dengan perubahan sikap kakaknya itu, apa yang membuat kakaknya itu menjadi sedih padahal sejak siang tadi Aryo terlihat sangat bahagia dengan kelulusan Mira, adiknya.
“Semuanya, Indra akan menyampaikan satu berita untuk kita”, hanya sepatah kalimat itu yang diucapkan Aryo, berita apa gerangan yang akan disampaikan oleh Indra sehingga kakaknya menjadi begitu sedihnya.
“Ada berita apa Nak Indra, bukan berita duka kan, ayo katakanlah”, Ibu tidak sabar untuk menunggu Indra bersuara.
Setelah menelan ludah, Indra mulai bicara, “Bapak, Ibu dan Mira, kalian sudah saya anggap sebagai keluarga saya sendiri, oleh karena itu saya harus menyampaikan berita gembira ini segera kepada kalian, saya akan segera menikah, karena ibu saya mendesak saya untuk segera menikah, beliau khawatir akan menyusul ayah sebelum sempat menyaksikan saya menikah”, jelas Indra dengan sangat lantang selantang suara lonceng yang sangat keras yang dirasakan Mira menghantam kepalanya dan menyadarkannya bahwa ini adalah nyata dan perkataan Indra tadi bukanlah mimpi seperti yang diharapkannya.
“Alhamdulillah, gadis mana yang beruntung mendampingimu Nak Indra”, Ibu sangat antusias menunggu Indra melanjutkan ucapannya. Sementara Mira serasa ingin menutup kedua telinganya agar tidak mendengar kelanjutan ucapan Indra. Selintas Mira sempat melirik orang-orang di ruangan itu, ayah dan ibunya yang sangat antusias untuk mendengar cerita Indra, Aryo yang menunduk dan bersikap hambar, hei apa yang terjadi pada abangnya itu, pikir Mira, sementara Tiara yang duduk di sebelahnya terlihat salah tingkah, ada apa pula dengan sahabatnya itu, apakah dia sudah tahu terlebih dulu dari Indra. Mira berusaha tidak mendengarkan kelanjutan perkataan Indra, namun hati kecilnya sangat ingin tahu siapa gadis yang akan dinikahi Indra.
“Gadis yang akan saya nikahi bukanlah orang asing lagi, kalian sudah sangat mengenalnya, dia ada di sini bersama kita sekarang, Tiara”, Indra berkata dengan mantap. Untuk kedua kalinya kepala Mira seperti dihantam lonceng, lebih keras dari sebelumnya, dan Mira tidak sempat lagi melihat reaksi orang-orang di sekitarnya satu per satu karena ia tidak bisa menahan dirinya untuk terus tersadar, Mira limbung, akumulasi kelelahan fisik yang dirasakannya sejak pagi hari hingga malam itu dan ditambah berita kejutan yang tidak diperkirakannya itu membuatnya pingsan.
Peristiwa malam itu adalah awal kesedihan Mira, perlahan-lahan semangat hidupnya menjadi kendur. Mira sadar peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya itu bukanlah salah siapa-siapa, bukan salah Indra dan Tiara, mereka hanyalah dua orang yang dipertemukan oleh kesempatan dan akhirnya saling mencintai, mereka juga tidak pernah tahu ada perasaan cinta yang dipendam Mira kepada Indra, bukan salah Aryo juga yang telah mengetahui perasaan Mira kepada Indra namun tidak pernah menyampaikannya kepada Indra karena Mira memang tidak pernah menceritakan perasaannya itu kepada Aryo. Satu-satunya penyesalan Mira karena ia tidak sempat mengutarakan perasaannya kepada Indra sebelum akhirnya Indra memutuskan untuk menikahi Tiara. Cinta Mira bukan bertepuk sebelah tangan tapi layu sebelum berkembang karena dia sendiri yang tidak memberikan kesempatan cintanya untuk berkembang dan diketahui oleh Indra, rasa rikuh dan malu sebagi seorang perempuan bila harus mengungkapkan perasaan cintanya terlebih dulu kepada laki-laki yang dikaguminya telah membuat cintanya harus terkubur sebelum sempat dilahirkan, telah menghancurkan hatinya dan melumpuhkan sebagian hidupnya.
Mira berusaha bangkit dari keterpurukannya, ia merasa harus bisa mengalahkan perasaan sedihnya, hatinya yang hancur, sebagian hidupnya yang lumpuh, perlahan-lahan ia harus menyimpan dan mengubur dalam rasa cintanya kepada Indra dan memulai lembaran yang baru dengan membuka hatinya, namun sangat sulit bagi Mira untuk melupakan cinta pertamanya itu. Namun kehidupan terus berjalan. Akhirnya Mira memutuskan untuk mulai beraktivitas kembali, mencoba untuk hidup mandiri, mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajarinya di bangku kuliah, ia mendirikan dan mengelola sebuah sekolah Taman Kanak-kanak dan penitipan anak. Sementara Indra bersama Tiara telah hidup berbahagia dan tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan Mira.
Mira mulai asyik dan menikmati pekerjaan barunya sebagai pendidik anak-anak di TK yang dikelolanya bersama beberapa orang teman, perlahan-lahan ia mulai menghapus kenangan Indra dari hatinya meskipun ia belum dapat membuka hatinya untuk mencintai laki-laki lain, segenap hatinya dan perhatiannya ia curahkan untuk keluarganya dan anak-anak didiknya. Aryo, kakaknya lah yang sangat khawatir dengan sikap Mira yang menutup hati kepada laki-laki. Beberapa teman laki-lakinya yang dikenalkan kepada Mira dan berusaha mendekatinya tidak mendapat tanggapan berarti, sampai suatu hari seorang laki-laki bernama Satrio yang dengan sabar dan telaten mendekati Mira, sering mengajaknya berdiskusi tentang hal-hal yang kebetulan sesuai dan cocok dengan Mira. Kecocokan di antara mereka akhirnya mendorong keberanian Satrio untuk mengungkapkan keinginannya untuk mengajak Mira hidup bersama dalam satu rumah tangga. Mira sangat menghargai ajakan Satrio, namun ia belum bisa menjanjikan untuk mengikuti ajakan Satrio, ia masih butuh waktu untuk berfikir, bukan karena ragu akan keputusan Satrio, justru karena menurut Mira Satrio sangat dewasa dan mengerti akan perasaannya yang pernah kecewa terhadap Indra, Mira justru takut akan mengecewakan Satrio.
Kehidupan adalah sebuah misteri. Hanya Tuhan yang mengetahuinya. Ketenangan Mira terusik oleh berita mengejutkan dalam kehidupannya yang sekali lagi datang dari Indra. Indra menyampaikan berita duka tentang sahabatnya, Tiara, Tiara telah dipanggil Tuhan setelah melahirkan anak kedua mereka. Perasaan sedih meliputi hati Mira, sahabatnya sejak kecil telah meninggalkan dunia ini, walaupun Mira pernah sangat kecewa terhadap Tiara, namun ia tidak pernah menyalahkan Tiara dan selalu menyayanginya. Dan waktu-waktu setelah itu bagaikan sebuah film drama yang terjadi dalam kehidupan Mira. Setelah kepergian Tiara, Indra mendapat mutasi tugas dari kantornya ke kota tempat tinggal Mira. Indra yang menjadi orang tua tunggal dan tidak punya keluarga lain di kota itu sangat kerepotan merawat kedua putrinya yang masih balita dan menitipkan kedua putrinya di sekolah yang dikelola Mira saat ia bekerja. Kehadiran Indra dan kedua putrinya itu mengingatkan Mira pada kenangan yang dulu, namun ia berusaha untuk tidak mengingatnya, mira merasa sangat Iba pada kedua putri Indra, Gadis dan Dara yang baru berusia dua tahun dan bayi yang sudah ditinggalkan oleh ibu mereka, Mira juga prihatin pada kondisi Indra yang sangat terpukul atas kepergian Tiara. Mira dan keluarganya sangat sayang kepada Gadis dan Dara, mengasuh dan merawat mereka seperti keluarga sendiri, terkadang kalau Indra tugas keluar kota, maka keluarga Mira lah yang merawat mereka.
Rasa kasih dan sayang yang besar kepada Gadis dan Dara telah melupakan kesedihan Mira akan kenangan di masa lalu. Dan di luar dugaan Mira, setahun setelah kepergian Tiara, Kepada Mira dan keluarganya, Indra memohon agar Mira bersedia untuk menggantikan Tiara menjadi Ibu dari Gadis dan Dara, menurut Indra itulah wasiat terakhir Tiara kepadanya. Sebuah keputusan Indra yang sangat mengejutkan diri Mira, andai hal itu diungkapkan Indra empat tahun yang lalu, tentu dengan segera mira akan menyetujuinya. Sangat sulit bagi Mira untuk menjawab permintaan Indra, bukan karena Mira tidak mau kepada Indra yang sudah duda dan punya anak dua, bukan karena sakit hati dan kecewa yang pernah dirasakan Mira, bukan juga karena Indra memintanya atas wasiat Tiara semata dan tidak atas keinginannya sendiri. Mira masih sangat mencintai Indra di lubuk hatinya, juga menyayangi Tiara dan kedua anaknya, bahkan jika diminta merawat Gadis dan Dara tanpa harus menjadi ibu mereka pun Mira bersedia. Satu hal yang membuatnya bimbang adalah Satrio, bagaimana dengan laki-laki yang selama ini telah sangat baik kepadanya, sedikit demi sedikit telah menyembuhkan lukanya, bahkan selama ini ia turut menyayangi Gadis dan Dara, apakah Mira harus membalasnya dengan pengkhianatan dan kekecewaan.
Mira sangat beruntung mengenal Satrio. Satrio laki-laki yang sangat tulus menyayanginya dan ikhlas berkorban untuknya. Di tengah kagalauan hati Mira, datanglah Satrio yang memberikan semangat kepadanya untuk menerima pinangan Indra, Satrio sangat memahami perasaan Mira yang masih mencintai Indra dan ia juga paham Mira menghargai perasaannya sehingga ia merasa bimbang untuk memutuskan. Satrio ikhlas Mira memilih Indra, karena Satrio yakin bersama Indra Mira akan lebih bahagia, demikian pula Indra dan kedua anaknya akan bahagia bila Mira yang menjadi ibu mereka. Keikhlasan Satrio akhirnya menuntun Mira menerima pinangan Indra menjadi istrinya dan menjadi ibu bagi anak-anaknya.
“Ma, adek dah bobok? Suara lembut Gadis menyentakkan Mira dari lamunannya. Dengan spontan ditengoknya wajah Gadis yang sudah kelihatan mengantuk, sementara Dara sudah tertidur rupanya. Perlahan Mira memindahkan Rama yang sudah terlelap dari gendongannya ke box bayi di dekatnya. Sesaat kemudian ia beranjak menghampiri ranjang, mengangkat tubuh Dara yang tertidur di tepi ranjang dan menggesernya ke atas tempat tidur. Gadis segera merebahkan diri di sebelah Dara dan bersiap mendengarkan cerita Mira, gadis itu sudah sangat hafal dengan kebiasaannya setiap malam. Mira mengambil buku cerita dari tangan Gadis dan mulai membuka beberapa lembar halaman sebelum memulai ceritanya, “Pada suatu hari, di suatu desa yang terpencil hiduplah sebuah keluarga yang sangat bahagia…”, Mira menghentikan ceritanya ketika diliriknya Gadis sudah terlelap dalam tidurnya. Perlahan diselimutinya kedua gadis kecil itu, kemudian menengok bayinya yang telah terlelap di dalam box kecilnya. Sejenak Mira memandangi anak-anaknya sebelum keluar dari kamar itu menuju ruang di sebelahnya melalui pintu yang hanya dibatasi oleh gorden bermotif boneka kartun.
Diruang sebelah yang merupakan ruang kerja itu dilihatnya Indra masih sibuk di depan laptopnya, wajahnya sangat serius sepertinya masih sibuk dengan pekerjaannya, pikir Mira. Mendengar langkah Mira, Indra segera menghentikan pekerjaannya dan menengok ke arah Mira sambil tersenyum, “Jeng, kamu kelihatan capek sekali, istirahatlah duluan, aku mungkin harus lembur untuk menyelesaikan laporan ini”, kata Indra. Mira mengangguk pelan sambil tersenyum dan melanjutkan langkahnya menuju ruang yang ada di sebelah ruang kerja itu, ruang kerja Indra berada di tengah-tengah antara kamar anak-anak dan kamar Mira.
Mira merebahkan badannya yang sudah sangat penat karena beraktivitas seharian, namun ia belum dapat memejamkan matanya, pikirannya kembali menerawang melanjutkan kenangan tentang kehidupan yang telah dilaluinya. Akhirnya ia kini telah hidup bersama Indra berserta kedua putrinya dengan Tiara, dan Tuhan telah melengkapi kebahagiaannya dengan hadirnya Rama. Mira telah merasakan kebahagiaan dengan keluarga barunya, ia telah merasakan kasih sayang yang diberikan oleh Indra dan anak-anaknya, walaupun ia tahu bahwa Indra masih menyimpan cintanya pada Tiara, Mira sadar bahwa ia tidak bisa memaksakan Indra untuk mencintainya, cukuplah kasih sayang yang telah ia terima sebagai modal untuk mengarungi bahtera rumah tangga mereka. Biarlah cinta Indra disimpannya untuk Tiara, dan Mira akan menyimpan cintanya untuk Indra, seperti juga Satrio yang akan menyimpan cintanya kepada Mira seperti yang dikatakan Satrio saat ia melepas Mira untuk menerima pinangan Indra. Sebelum memejamkan mata, Mira memanjatkan doa, “Tuhan Maha Penyayang, Maha Adil dan Maha Mengetahui, Tuhan lah yang akan menumbuhkan cinta dan kasih sayang pada hati manusia, Insya Allah”.